Ilmuwan
nuklir di Indonesia termasuk langka, apalagi yang reputasinya sampai
diakui dunia. Salah satu yang langka itu adalah Ir Yudiutomo Imardjoko
MSc PhD, peneliti nuklir yang baru-baru ini menemukan teknik pengayaan
uranium tingkat rendah.
Untuk ukuran seorang direktur utama PT Batan Teknologi (BatanTek), ruang
kerja Yudiutomo terbilang sederhana. Luasnya hanya sekitar 6 x 5 meter
dengan seperangkat meja kursi kerja serta sofa untuk tamu di dekat
pintu. Selain itu, ada sebuah lemari setinggi 1,5 meter yang berisi
buku-buku dan berkas-berkas penting BUMN di bidang industri teknologi
nuklir.
Tidak ada hiasan yang mewarnai kantor yang terletak di Gedung 70 dalam
kompleks (Puspiptek), Tangerang Selatan, Banten, tersebut. Dari luar,
Gedung 70 yang menjadi kantor pusat BatanTek, lebih mirip sebuah pabrik.
Apalagi bagian belakang bangunan difungsikan sebagai bengkel atau
workshop.
Yudiutomo, yang oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan disebut sebagai nyawa
baru PT BatanTek, memulai obrolan dengan bercerita singkat tentang
perjalanan hidupnya. Lahir di Jogjakarta, 15 Maret 1963, Yudi mengaku
sudah menyukai ilmu nuklir sejak di SMA Negeri 1 Jogjakarta.
Saat pelajaran Fisika dijelaskan tentang adanya atom, yang ukurannya
sangat kecil tapi energinya luar biasa besar. Itu memancing
keingintahuan saya, kata Yudi kepada Jawa Pos di kantornya Rabu (4/7)
lalu.
Keingintahuan tersebut mengantarnya masuk ke Fakultas Teknik Nuklir di
Universitas Gadjah Mada (UGM). Berkat prestasi akademiknya, setelah
meraih gelar sarjana, Yudi langsung diterima sebagai dosen di
almamaternya dengan status calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Tetapi, hanya berselang enam bulan, Yudi harus meninggalkan UGM karena
mendapat beasiswa untuk memperdalam ilmu nuklir di Iowa State University
pada jenjang S-2 dan S-3.
Hebatnya, dia mampu meraih gelar MSc dan PhD dalam waktu enam tahun.
Capaian itu mengukuhkan Yudi sebagai orang Indonesia termuda yang
berhasil merengkuh gelar doktor di usia 32 tahun pada 1995.
Kehebatan ilmu Yudi di bidang nuklir sudah menonjol sejak menimba ilmu
di Negeri Paman Sam. Salah satu buktinya dia pernah memenangkan
kompetisi pembuatan penampung limbah nuklir di AS.
Itu terjadi pada era 1990-an ketika pemerintah AS dipusingkan dengan
makin banyaknya limbah nuklir dari 100 lebih pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN)-nya. Karena itu, pemerintah AS lalu membuka tender
pembuatan penampung limbah nuklir.
Saat itu, ratusan ilmuwan nuklir dari seluruh dunia saling adu kemampuan
mendesain panampung limbah nuklir. Yudi tampil dengan desain kontainer
limbah nuklir yang membuat banyak ilmuwan nuklir lain tercengang.
Sebelumnya, penanganan limbah nuklir membutuhkan tiga jenis kontainer.
Yakni kontainer untuk pengambilan limbah dari reaktor, lalu dipindah ke
kontainer menuju tempat penyimpanan, dan terakhir ke kontainer ketiga
untuk ditanam di dalam tanah.
Semakin sering dipindah, risiko bocornya radiasi makin besar. Waktu itu
saya merancang multipurpose kontainer. Jadi, mulai dari pengambilan,
transportasi, dan penyimpanan limbah cukup dengan satu kontainer,
ujarnya.
Kontainer tersebut dirancang untuk bisa ditanam dengan kedalaman 400-600
meter di bawah tanah dan mampu bertahan hingga 10.000 tahun sampai
limbah nuklir bisa terurai secara alami.
Rancangan Yudi itu dinilai paling bagus dan aman. Karena itu, layak
masuk dalam lembaran Departemen Energi AS dan memenuhi kualifikasi untuk
ikut tender pembuatan kontainer limbah nuklir. Menurut dosen saya,
Prof Daniel Bullen, desain saya dianggap paling bagus dibandingkan karya
ilmuwan lain, kata Yudi.
Kemampuan otak Yudi membuat Prof Daniel Bullen kepincut dan meminta
dirinya untuk ikut mengajar teknik nuklir di Lowa State University.
Tawaran gajinya pun menggiurkan, yakni USD 8.000 atau sekitar Rp16 juta
per bulan (kurs saat itu Rp 2.000/USD). Namun, tawaran itu ditolaknya.
Sebab, sejak awal, Yudi memang sudah berniat untuk mengembangkan ilmu
nuklir di Indonesia dengan menjadi dosen di Teknik Nuklir UGM. Status
saya saat itu masih CPNS. Gajinya masih Rp200 ribu per bulan, ujarnya
lantas tertawa.
Dia mengaku tidak kecewa menolak tawaran pekerjaan dengan gaji yang
besarnya berlipat-lipat itu. Rasa nasionalisme dan jiwa pendidik yang
mengalir dalam darahnya lebih dari segalanya. Karena itu, putra almarhum
Prof Imam Barnadib-Prof Sutari Barnadib tersebut lebih senang pulang ke
Indonesia dan mengabdikan ilmunya di almamater.
Setelah 25 tahun mengajar, Yudi mencoba tantangan baru. Dia menjadi
konsultan energi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang berkantor di New
York, AS. Namun, garis hidup seperti menuntunnya untuk kembali ke
Indonesia.
Baru 5 bulan menjadi konsultan PBB, Yudi mendapat informasi adanya
lowongan posisi direksi di PT Batan Tek, sebuah BUMN yang bergerak di
bidang nuklir. Dia pun harus merelakan gaji USD11.000 per bulan (sekitar
Rp100 juta) dan berbagai fasilitas mewah sebagai konsultan PBB. Saya
kemudian kirim CV, ikut fit and proper test, dan Alhamdulillah
diterima, katanya.
Suami dari Dr Diatri Nari Ratih ini akhirnya diangkat sebagai Dirut PT
BatanTek pada 26 Juli 2011. Meski menjadi orang nomor satu, Yudi tidak
bisa berleha-leha di kursi Dirut. Sebab, saat itu, BatanTek terancam
gulung tikar karena sejak 2010 Badan Tenaga Atom Internasional atau
International Atomic Energy Agency (IAEA) melarang pengayaan uranium
tingkat tinggi untuk produksi radioisotop.
Sabtu, 23 Agustus 2014
Cita - cita saya Sebagai Ahli Nuklir
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
;(( :) :)) :-b 8-) kunjungi blog ku http://tommyhnm.blogspot.com/
BalasHapus