[@gigya width="0" height="0" src=http://www.widgipedia.com/widgets/givemeone/mub6_-25032-8192_134217728.widget?__install_id=1387735147747& width=200 height=80 wmode=transparent type=application/x-shockwave-flash" quality="autohigh" loop="true" wmode="transparent" menu="false" allowScriptAccess="sameDomain"]

Sabtu, 23 Agustus 2014

Cita - cita saya Sebagai Ahli Nuklir

    Ilmuwan nuklir di Indonesia termasuk langka, apalagi yang reputasinya sampai diakui dunia. Salah satu yang langka itu adalah Ir Yudiutomo Imardjoko MSc PhD, peneliti nuklir yang baru-baru ini menemukan teknik pengayaan uranium tingkat rendah.

Untuk ukuran seorang direktur utama PT Batan Teknologi (BatanTek), ruang kerja Yudiutomo terbilang sederhana. Luasnya hanya sekitar 6 x 5 meter dengan seperangkat meja kursi kerja serta sofa untuk tamu di dekat pintu. Selain itu, ada sebuah lemari setinggi 1,5 meter yang berisi buku-buku dan berkas-berkas penting BUMN di bidang industri teknologi nuklir.

Tidak ada hiasan yang “mewarnai” kantor yang terletak di Gedung 70 dalam kompleks (Puspiptek), Tangerang Selatan, Banten, tersebut. Dari luar, Gedung 70 yang menjadi kantor pusat BatanTek, lebih mirip sebuah pabrik. Apalagi bagian belakang bangunan difungsikan sebagai bengkel atau workshop.

Yudiutomo, yang oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan disebut sebagai nyawa baru PT BatanTek, memulai obrolan dengan bercerita singkat tentang perjalanan hidupnya. Lahir di Jogjakarta, 15 Maret 1963, Yudi mengaku sudah menyukai ilmu nuklir sejak di SMA Negeri 1 Jogjakarta.

“Saat pelajaran Fisika dijelaskan tentang adanya atom, yang ukurannya sangat kecil tapi energinya luar biasa besar. Itu memancing keingintahuan saya,” kata Yudi kepada Jawa Pos di kantornya Rabu (4/7) lalu.


Keingintahuan tersebut mengantarnya masuk ke Fakultas Teknik Nuklir di Universitas Gadjah Mada (UGM). Berkat prestasi akademiknya, setelah meraih gelar sarjana, Yudi langsung diterima sebagai dosen di almamaternya dengan status calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Tetapi, hanya berselang enam bulan, Yudi harus meninggalkan UGM karena mendapat beasiswa untuk memperdalam ilmu nuklir di Iowa State University pada jenjang S-2 dan S-3.

Hebatnya, dia mampu meraih gelar MSc dan PhD dalam waktu enam tahun. Capaian itu mengukuhkan Yudi sebagai orang Indonesia termuda yang berhasil merengkuh gelar doktor di usia 32 tahun pada 1995.

Kehebatan ilmu Yudi di bidang nuklir sudah menonjol sejak menimba ilmu di Negeri Paman Sam. Salah satu buktinya dia pernah memenangkan kompetisi pembuatan penampung limbah nuklir di AS.

Itu terjadi pada era 1990-an ketika pemerintah AS dipusingkan dengan makin banyaknya limbah nuklir dari 100 lebih pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN)-nya. Karena itu, pemerintah AS lalu membuka tender pembuatan penampung limbah nuklir.

Saat itu, ratusan ilmuwan nuklir dari seluruh dunia saling adu kemampuan mendesain panampung limbah nuklir. Yudi tampil dengan desain kontainer limbah nuklir yang membuat banyak ilmuwan nuklir lain tercengang.

Sebelumnya, penanganan limbah nuklir membutuhkan tiga jenis kontainer. Yakni kontainer untuk pengambilan limbah dari reaktor, lalu dipindah ke kontainer menuju tempat penyimpanan, dan terakhir ke kontainer ketiga untuk ditanam di dalam tanah.

“Semakin sering dipindah, risiko bocornya radiasi makin besar. Waktu itu saya merancang multipurpose kontainer. Jadi, mulai dari pengambilan, transportasi, dan penyimpanan limbah cukup dengan satu kontainer,” ujarnya.

Kontainer tersebut dirancang untuk bisa ditanam dengan kedalaman 400-600 meter di bawah tanah dan mampu bertahan hingga 10.000 tahun sampai limbah nuklir bisa terurai secara alami.

Rancangan Yudi itu dinilai paling bagus dan aman. Karena itu, layak masuk dalam lembaran Departemen Energi AS dan memenuhi kualifikasi untuk ikut tender pembuatan kontainer limbah nuklir. “Menurut dosen saya, Prof Daniel Bullen, desain saya dianggap paling bagus dibandingkan karya ilmuwan lain,” kata Yudi.

Kemampuan otak Yudi membuat Prof Daniel Bullen kepincut dan meminta dirinya untuk ikut mengajar teknik nuklir di Lowa State University. Tawaran gajinya pun menggiurkan, yakni USD 8.000 atau sekitar Rp16 juta per bulan (kurs saat itu Rp 2.000/USD). Namun, tawaran itu ditolaknya.

Sebab, sejak awal, Yudi memang sudah berniat untuk mengembangkan ilmu nuklir di Indonesia dengan menjadi dosen di Teknik Nuklir UGM. “Status saya saat itu masih CPNS. Gajinya masih Rp200 ribu per bulan,” ujarnya lantas tertawa.

Dia mengaku tidak kecewa menolak tawaran pekerjaan dengan gaji yang besarnya berlipat-lipat itu. Rasa nasionalisme dan jiwa pendidik yang mengalir dalam darahnya lebih dari segalanya. Karena itu, putra almarhum Prof Imam Barnadib-Prof Sutari Barnadib tersebut lebih senang pulang ke Indonesia dan mengabdikan ilmunya di almamater.

Setelah 25 tahun mengajar, Yudi mencoba tantangan baru. Dia menjadi konsultan energi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang berkantor di New York, AS. Namun, garis hidup seperti menuntunnya untuk kembali ke Indonesia.

Baru 5 bulan menjadi konsultan PBB, Yudi mendapat informasi adanya lowongan posisi direksi di PT Batan Tek, sebuah BUMN yang bergerak di bidang nuklir. Dia pun harus merelakan gaji USD11.000 per bulan (sekitar Rp100 juta) dan berbagai fasilitas mewah sebagai konsultan PBB. “Saya kemudian kirim CV, ikut fit and proper test, dan Alhamdulillah diterima,” katanya.

Suami dari Dr Diatri Nari Ratih ini akhirnya diangkat sebagai Dirut PT BatanTek pada 26 Juli 2011. Meski menjadi orang nomor satu, Yudi tidak bisa berleha-leha di kursi Dirut. Sebab, saat itu, BatanTek terancam gulung tikar karena sejak 2010 Badan Tenaga Atom Internasional atau “International Atomic Energy Agency (IAEA) melarang pengayaan uranium tingkat tinggi untuk produksi radioisotop.

1 komentar:

  1. ;(( :) :)) :-b 8-) kunjungi blog ku http://tommyhnm.blogspot.com/

    BalasHapus